Mana Mungkin Elang Bersarang di Batang Kelapa

By Admin


(cerita peserta dari perairan didalam mengikuti pendampingan Perhutanan Sosial paska izin jarak jauh secara elektronik/E-learning untuk Gelombang I)

Oleh: Beni Rahmad (Pendamping KTH Rimau Jaya Banyuasin).

nusakini.com - Cerita ini merupakan penggalan kisah dari negeri pada ketinggian 1 mdpl, sebuah ruang hidup yang sangat terpengaruh oleh pasang-surut air sungai dan air laut. Kampung yang dipagari oleh dominasi berbagai jenis tanaman bakau dan nyiur melambai. Sejarah  bermula, saat puluhan tahun lalu, para pelaut Bugis dan Transmigran yang didatangkan oleh Pemerintah Orde Baru dari Pulau Jawa menjejakan kakinya dinegeri yang sunyi. Perkampungan Transmigran dan para pelaut Bugis bersisian, dimana mereka saling berinteraksi untuk saling bantu-membantu didalam memenuhi penghidupannya. Disitulah mereka menetap dan membangun peradaban baru yang mampu menggabungkan budaya Jawa, Bugis juga Melayu Pesisir dalam satu derap kehidupan.

Tapak kehidupan telah dikembangkan, dimana masyarakat mulai membuka lahan untuk pertanian dan perkebunan. Tanggul-tanggul  hasil penggalian parit berukuran besar dibuat, agar tidak terendam di kala air pasang. Tegakan Bakau dan Nipah sebagaian besar berubah wajah menjadi hamparan sawah, kebun Jagung dan kebun Kelapa dalam yang khas pesisir. Budidaya aneka tanaman tersebut, memberikan berkah berupa lembaran rupiah demi rupiah bagi para petani yang mengusahakannya. Perubahan wajah ini lah yang kemudian di fasilitasi oleh Negara melalui kegiatan Perhutanan Sosial. 

Para pelaut Bugis dan Transmigran yang telah menggarap lahan didalam kawasan, kemudian berhimpun dalam sebuah kelompok tani hutan bernama KTH Rimau Jaya. Kelompok ini selain sebagai wadah kerjasama untuk membangun kehidupan yang lebih baik juga sebagai wadah untuk berdialog dengan KPH Palembang-Banyuasin sebagai pemangku kawasan. Gayung bersambut, pemangku kawasan memberikan respon positif atas harapan masyarakat supaya mereka mendapatkan akses legal didalam mengelola hutan negara sebagai sumber hidup dan penghidupannya serta turut terlibat didalam upaya pelestarian kawasan.

Tatapan panjang dan mulut sedikit ternganga dipertunjukkan oleh para pengurus KTH, saat saya sampaikan akan dilaksanakan pelatihan pendampingan Perhutanan Sosial Paska Izin jarak jauh secara elektronik/E-learning untuk Gelombang I bagi para petani pemegang izin pemanfaatan hutan. Sejauh pengalaman mereka, pelatihan adalah saat mereka dikumpulkan pada sebuah ruangan, dan diberikan ceramah panjang lebar, sembari menyeruput kopi dan kudapan ringan seperti gorengan dan kue-kue kecil.

Namun kali ini berbeda dan mengejutkan sekaligus tidak pernah terbayangkan. Pelatihan akan dilakukan dengan sistem E-learning, sebuah metode yang menyebutnya saja mereka terbata-bata, apalagi membayangkan bagaimana mengikutinya. Pelatihan tanpa bertemu muka, tanpa kelas, tanpa tempat duduk, tanpa kopi dan cemilan kue-kue kecil. Sampai berbusa dijelaskan, hampir semua anggota kelompok yang datang menggeleng tidak paham kalau ada model pelatihan seperti ini. Namun saat dijelaskan, modelnya mirip dengan video call yang ada di Whatsup yang beberapa orang anggota kelompok yang punya telepon genggam pernah melakukannya. Penjelasan ini agak sedikit memberikan gambaran bagaimana proses pelatihan akan dijalankan.

Namun saat Saya sampaikan lebih detail, bahwa ini adalah cara untuk mensiasati agar pengembangan kapasitas kelompok bisa dijalankan namun bisa menghindari penyebaran pandemi corona, si tamu tak kasat mata yang tak diharapkan kedatangannya. Hal besar menggelayut dalam pikiran para petani yang sebagaian bersongkok Bone ini, bagaimana mungkin mereka bisa mengikuti pembelajaran sedangkan saat bertatap muka saja banyak kosa kata pemateri yang tak bisa dimengerti. Sedangkan ini, mereka harus punya gawai canggih yang di dukung oleh jaringan sinyal yang kuat. Belum lagi nama Zoom sebagai aplikasi teknologi yang digunakan yang begitu asing dalam pendengaran, yang mereka tahu fungsi telepon adalah untuk menelepon dan berkirim pesan saja.

Saya coba yakinkan mereka, bahwa sebagai pendamping dan bagian dari keluarga besar Perhutanan Sosial, Saya akan membantu semaksimal mungkin agar kelompok bisa mengikuti proses pelatihan ini. Motivasi bahwa mereka bisa mampu menangkan, sambil terus menjelaskan alur proses pelatihan, cara menggunakan telepon genggam untuk rapat dengan Zoom. Selain itu juga menjelaskan secara mendetail fungsi yang ada di telepon untuk zoom dan bagaimana cara pelatihan dengan pendekatan baru ini.

Terkait masalah gawai, dipilihlah anggota yang telah memilik gawai yang berbasis teknologi android, tidak mesti pula versi pie versi gingerbread pun jadilah. Tinggal mengakali masalah jaringan sinyal, jika tetap di Desa Rimau Sungsang, lokasi keberadaan KTH maka bisa dipastikan kegiatan pembelajaran tidak akan berjalan, sehingga diusulkan lah, peserta akan dikumpulkan di Desa Kuala Puntian yang berbatasan dengan PT.HSK, perusahaan sawit yang memiliki fasilitas BTS mandiri. Sebagai pendamping tugas saya membantu instalasi aplikasi dan tutorial penggunaannya setelah itu kreativitas mereka untuk menggunakannya. Kesepakatan pun dibuat, sekembali saya ke kantor KPH, akan dilakukan uji coba penggunaan aplikasi zoom. Tim KPH akan melakukan ujicoba rapat sederhana dan soialisasi internal mengenai pelatihan yang akan dikuti.

Saat ujicoba dilakukan, kekhawatiran itu menjadi kenyataan. Hampir seluruh petani binaan kesulitan menggunakannya, mulai dari proses log in dengan mengclick tautan atau memasukkan meeting ID dan password. Setelah berhasil masuk, maka muncullah masalah berikutnya, kebingungan untuk memunculkan suara dan mengganti nama pengguna. 

Sehingga tidak mengherankan saat pelatihan yang sebenarnya dilaksanakan muncul peserta dengan nama Miwxyz648, yang bisa jadi adalah merk dan seri gawai yang digunakan. Pindah lokasi ternyata juga tidak menjamin akses jaringan dan sinyal yang lancar, fenomena keluar masuk ruangan pelatihan online menjadi cerita biasa, bahkan saat listrik mati tak jarang sinyal hilang karena BTS tidak di dukung oleh power bank kapasitas besar.

Juhardi namanya, seorang petani kelahiran Bone Sulawesi Selatan yang berkumis lebat ini memiliki semangat yang besar dalam belajar dan berkontribusi, tak heran kalau ia di dapuk menjadi sekretaris KTH. Didampingi anaknya yang masih SMA, penuh semangat mengikuti pelatihan dari teras rumah saudaranya di desa tetangga, biar sinyal kuat katanya ketika ditanya kenapa tidak masuk ke rumah saja. Sambil berdiri dengan durasi lebih dari 2 jam ditengah terik matahari siang yang menyengat. Lelaki yang jago membudidayakan kelapa ini sangat serius mengikuti materi dari instruktur. Yang menarik adalah, setelah materi selesai beliau bukan bertanya pada pemateri tapi lansung pada pendamping, malu katanya... Tugas mandiri yang diberikan lansung dikerjakan, ketika coba saya tanyakan apa yang ditulis, dengan singkat dijawabnya “saya tulis saya belum mengerti semuanya”. Begitu pula saat evaluasi, setelah mampu menyelesaikan evaluasi pada percobaan ke tiga, dengan bangga ia akan berkata saya berhasil menaklukkan tantangan Pak Beni.

Lain Juhardi, lain pula Ira Safitri ibu muda dengan 1 anak yang berusia 8 bulan. Saat mengikuti pelatihan sering kali video nya dimatikan, ketika saya tanya kenapa dimatikan, jawabnya “malu pak, sambil pelatihan saya juga memberikan ASI pada anak saya”. Ira cukup melek dengan teknologi karena ia juga punya akun sosial media lainnya, hanya kondisi medan yang tak bersahabat. Jika hujan turun, jalan utama penghubung desa dengan PT.HSK yang berupa tanah merah akan sangat lengket dan becek. Tak heran jika Ira sering terlambat masuk kedalam ruang pelatihan. Usianya yang masih muda cukup mendukung ke aktifan dalam menyelesaikan tugas dan evaluasi. 

Kisah lain dari Baba Rudi, peserta yang masih cukup muda namun punya areal garapan yang produktif dan luas. Masa pelatihan berbarengan dengan masa panen raya tanaman jagung. Sejak awal Baba menolak mengikuti pelatihan, namun setengah saya paksa akhirnya ia luluh juga. Konsekwensinya, ketika ada panggilan dari anak buahnya, bahwa penimbangan jagung akan segera dilakukan, maka Baba mematikan aplikasinya dan meninggalkan gawainya untuk ke lahan dan menimbang hasil panen jagung hari itu.

Ada kalanya teknologi dan informasi yang seolah tak bersekat mesti tunduk pada topografi dan hutan itu sendiri. Status kawasan hutan tidak memungkinkan bagi banyak pihak membangun infrastruktur teknologi komunikasi, sehingga pada titik ini berdamai dengan kondisi alam adalah pilihan yang realistis. Berharap peserta yang tinggal diperairan tepi hutan bisa mengikuti proses pembelajaran e-learning sesuai dengan kondisi ideal bagaikan berharap elang bersarang dibatang kelapa, artinya sesuatu yang tidak mungkin terjadi. Tapi, sesuai dengan cita-cita awal, sebatas daya yang mampu diberikan maka akan kami berikan untuk perkembangan Perhutanan Sosial. Datanglah sekali-sekali ke tempat kami, mari kita arungi sungai Banyuasin dengan speed boat berkecapatan 80kph sambil menikmati guncangan serta derasnya angin perairan. Berkunjunglah ke tempat kami, kita nikmati kelapa muda dengan aneka hidangan khas perairan. Sembari kita bercengkrama tentang tantangan pengelolaan Perhutanan Sosial di daerah perairan, sambil mengunyah jagung muda yang direbus sebagai teman kopi yang ditanam disekitar kebun. Dan saat malam bersantap dengan lauk udang sungai sebesar lengan, juga kepiting dan ikan sembilang dengan beras kampung yang ditanam disekitar kampung juga sambal dengan rawit pedas dan lalap segar hasil panen dilahan Perhutanan Sosial.